Wednesday, November 26, 2014

Investasi...


No comments:
Menurutku, menumpuk suatu hal itu tidak memiliki dampak positif untuk diri kita sendiri, apalagi untuk orang lain. Sesuatu yang ditumpuk, tidak akan berguna. Jadi semua harus dishare agar lebih terasa manfaatnya bagi orang banyak. Misalnya, kamu punya ilmu, pengetahuan, bagikan pada orang lain. Maka makin banyak kepala yang dapat memikirkan hal yang lebih maju, menjadi pilar-pilar penopang kemajuan manusia. Jika ada banyak uang, gunakan uang itu untuk membuat suatu usaha yang berguna bagi orang-orang sekitar. Apa gunanya uang disimpan, terkena inflasi, nilainya berkurang.

Berbagi. Ini yang hilang dari benak orang-orang akhir-akhir ini, akhirnya malah terjadi degradasi nilai, makna dari kenapa memutar uang itu lebih baik daripada menyimpannya. Daripada berpikir untuk dapat berbagi lebih banyak, banyak orang lebih memikirkan bagaimana caranya agar yang ia miliki menjadi berkali-kali lipat. Terutama uang, orang-orang mulai memikirkan uang harus dialokasikan untuk investasi, atau paling tidak asuransi. Tapi di sini saya tidak akan membicarakan asuransi.

Pikiran untuk selalu menghitung untung rugi ini, lama kelamaan jadi semakin gila. Saking gilanya, memberi makanan yang sehat dan baik untuk anak dihitung sebagai investasi. Hitung-hitung lebih murah memberi makanan sehat kepada anak ketimbang nanti si anak sakit. Hitung-hitung, kalau anak sehat, sekolah lancar. Hitung-hitung, kalau sekolah lancar, masa depan cerah. Hitung-hitung, tidak rugilah memberi makan sehat untuk anak.

Contoh lain, menyekolahkan anak di tempat yang mahal tetapi memiliki sistem pendidikan yang baik. Hitung-hitung, investasikan uang untuk biaya pendidikan anak. Hitung-hitung, mudah mendapat kerja. Hitung-hitung, masa depan cerah, balik modal, malah mungkin bisa lebih.

Kalau kamu merasa kedua contoh di atas itu sudah sewajarnya begitu, maka kamu sakit. Atau setidaknya, cara kamu memaknai hidup sudah ter-degradasi.

Jadi begini maksudku, memberikan anak makan yang sehat itu tujuannya bukan karena lebih murah (memperkecil biaya produksi, meningkatkan untung) tapi ya agar anak sehat. Menyekolahkan anak di tempat yang baik walau mahal, bukan karena ingin mendapatkan hasil maksimal, agar anak bisa diterima di lapangan kerja, tapi karena pendidikan yang baik itu baik untuk perkembangan si anak, baik untuk proses si anak menjadi manusia.

Memangnya anakmu itu apaan, komoditas? Memangnya kamu beranak pinak agar mendapat keuntungan di hari tua?

Tanggung Jawab, Bertanggung Jawab, Mempertanggungjawabkan


No comments:
Saya suka pergi sendiri ke suatu tempat. Misalnya ke toko buku. Kemudian mampir sebentar ke restoran atau cafe. Tapi dari pada cafe saya lebih suka ke restoran karena di restoran orang-orangnya lebih beragam. Sendiri saja. Di sana pun saya lebih memilih duduk di bagian pinggi. Selain karena saya memang lebih suka menyendiri, menikmati waktu sendiri, saya juga suka memperhatikan hal-hal kecil keseharian yang terjadi di sekitar saya.

Hal yang paling menarik perhatian saya biasanya adalah para orang tua muda. Kemungkinan usia mereka tidak jauh berbeda dengan saya. Menarik, karena walau hampir sepantaran dengan mereka, dunia saya berbeda sekali dengan mereka.

Jadi begini, bagi saya, menikah dan menjadi orang tua itu bukan suatu hal yang kita lakukan karena itulah yang seharusnya. Itu hal yang lumrah. Tapi kedua hal, yang biasanya beriringan, tersebut merupakan suatu keputusan yang diambil setelah berpikir mendalam dan mempertimbangkan semua aspek yang mungkin. Buka hanya aspek ekonomi.

Karena itu, menikah dan menjadi orang tua itu adalah sesuatu yang berat. Saking beratnya, saya memilih untuk tidak memikirkan hal tersebut. Bukan lari. Hanya saja, kedua hal itu bukan prioritas saya. Untuk apa menghabiskan waktu memikirkan sesuatu yang berat tapi toh tidak akan dilakukan dalam waktu dekat, jauh pun tidak terbayang.

Jadi, karena pikiran saya sendiri, saya menganggap orang-orang yang memilih menikah dan menjadi orang tua ini juga sudah memikirkan hal-hal yang mungkin tadi. Jadi sayaa selalu menganggap orang-orang yang sudah memilih untuk melakukan kedua hal tersebut lebih dewasa daripada saya, lebih matang, lebih segalanya.

Ada satu hal lagi yang membuat perhatian saya selalu teralih ke para orang tua muda ini ketika bengong-bengong di restoran. kadang sekali, karena anak mereka lucu. Sering sekali, karena anak-anak mereka berisiknya minta ampun, berlarian dan bermain peran di restoran. Saya sih tidak menyalahkan anak-anak ini bertingkah seperti itu. Saya hanya meratapi kebisingan yang terjadi, karena telinga (mungkin lebih tepatnya otak) saya ini sensitif dengan suara nyaring tak karuan. Kepala jadi pusing, dan tidak bisa berpikir.

Dan yang saya lakukan ketika melihat ada anak-anak yang berlarian di restoran adalah langsung mencari di mana orang tuanya. Bukan untuk menghampiri, tapi ya sekedar ingin tahu saja, ketika anak-anak ini sedang berlarian dan cukup mengganggu pengunjung yang lain, apa yang dilakukan orang tuanya.

Hal yang saya lihat cukup mematahkan hati saya. Karena para orang tua anak-anak itu seringnya, mengabaikan tingkah anak-anak mereka dan malahan sibuk dengan gadget.

Jadi, anggapan saya bahwa yang memutuskan menikah dan menjadi orang tua itu sudah dewasa segala-galanya ternyata salah. Mungkin, lebih banyak yang menjadi kedua hal itu karena itu yang lumrah. Tidak didasari pada pikiran matang.

Lagi-lagi saya menyadari betapa sempit pikiran saya ini. Selalu berusaha menganggap dunia ini ideal.

Monday, November 24, 2014

Curhat Saja...


2 comments:
Kebijakan Tifatul memblokir konten-konten yang mengandung pornografi, sebelum diputuskan untuk dilanjutkan, harus dievaluasi. Misalnya, apakah pemblokiran ini berdampak positif terhadap sesuatu atau tidak. Apakah dampak yang dihasil sebanding dengan uang yang dikeluarkan, dsb.

Kalau tidak banyak gunanya, sebaiknya dana untuk melakukan pemblokiran dipakai untuk aksi positif saja (pemblokiran adalah aksi negatif). Logika yang dipakai seperti pada pengurangan subsidi BBM.

Sudah cukuplah, mentri-mentri yang menganggap bego rakyat. Parahnya lagi, rakyat Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat. Padahal di AS pun banyak juga bigotnya, yang kadar ke-bego-annya kadang sampai bikin saya ingin menembak diri saya sendiri, saking parahnya.

Sekarang harusnya jaman mentri yang tau rakyat punya potensi dan bantu agar potensi itu bisa berguna untuk negara.

Tapi ya itulah. Harus dilakukan riset terlebih dulu. Riset sangat penting untuk mengetahui apakah suatu kebijakan sudah tepat, atau untuk melihat kebijakan apa yang kira-kira diperlukan.

Saya cukup optimis dengan urusan kemajuan riset di Indonesia. Karena di kabinet Jokowi ada mentri yang khusus menangani masalah pendidikan tinggi riset. 

Kembali lagi ke mentri Rudiantara, menurut saya mentri ini harus "direvolusimentalkan"!

Saya Ini (Mungkin) Tidak Racist, Semoga Tidak Sexist, Tapi Ternyata Jilbabist!


2 comments:
Suatu ketika saya dan adik saya pulang dari kampus. Seperti biasa, kami selalu mengobrol tentang hal-hal biasa, kejadian sehari-hari. Kali ini, yang topiknya tentang perilaku penumpang Transjakarta yang ajaib bin menyebalkan.

Obrolan bermula ketika ada seorang nenek yang masuk, dengan susah payah, ke dalam bus. Kami yang ada di area dekat pintu berusaha memberi jalan masuk untuk nenek tersebut, agar mudah mengakses kursi. Ketika akhirnya nenek ada di dekat kursi, orang yang duduk di kursi tidak segera berdiri memberikan kursinya (kata memberikan di sini kurang tepat mengingat kursi itu bukan miliknya) ke nenek tersebut. Orang yang ada di dekatnya menegur. Akhirnya berdirilah dia dan nenek duduk.

Fenomena ini, walau akhir nenek bisa duduk di kursi, tetap terasa menyebalkan. Karena orang yang duduk di kursi, si anak muda, tidak segera berdiri. Akhirnya, mulailah saya dan adik saya mengobrol tentang hal serupa, yang cukup sering terjadi itu.

Adik saya mengatakan, sering ada anak muda yang duduk di kursi merah, ketika tahu banyak orang yang masuk ke bus, langsung pasang posisi seperti sedang tidur. Padahal dia tidak tidur. Dugaan kami, dia tidak mau disuruh berdiri dan membiarkan orang yang butuh kursi untuk duduk.

Tidak lama setelah obrolan dimulai, adik saya nyeletuk,

"Seringnya sih yang begitu malahan yang pakai jilbab jilbab gitu. Heran deh"

Ketika itu saya mengiyakan. Ya, karena sepanjang yang saya lihat pun, pelaku fenomena menyebalkan itu memang berjilbab.

Tapi setelah itu, saya pikir lagi. Pikiran ini muncul setelah ingat pembicaraan saya dengan Ayu, temanku, mengenai sexist. Pikirku, kenapa saya lebih kesal melihat tingkah menyebalkan seperti ini ketika pelakunya adalah seorang perempuan berjilbab?

Kemudian saya menyadari, seperti orang kebanyakan, ternyata saya secara tidak sadar berekspektasi: ketika seseorang memutuskan berjilbab, maka dia harus berperilaku santun dan lebih "lurus". Saya sendiri kaget, wow, betapa konvensional saya.

Jadi, ketika ada seorang perempuan berjilbab berperilaku menyebalkan dan berpikir dia seharusnya tidak seperti itu terutama karena dia berjilbab, maka saya ini adalah seorang Jilbabist. Bukan dalam arti pengguna jilbab, tapi -ist di sini seperti -ist di racist, sexist. Dalam pikir saya, seorang berjilbab pastilah begini begitu, tidak boleh begini begitu. Saya lupa, bahwa seorang yang berjilbab itu, manusia. Sama seperti manusia yang tidak berjilbab, tidak sempurna dan wajar jika melakukan kesalahan dan menjadi menyebalkan.