Saturday, March 19, 2011

Pandangan Sejarah Modern


Latar Belakang

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka kepercayaan pada nilai-nilai gereja dan providensi digantikan oleh ilmu pengetahuan, begitu pun dengan alur sejarah, yaitu membentuk Kerajaan Allah telah digantikan dengan kemajuan di bawah bimbingan akal dan ilmu pengetahuan. Kemajuan akal dan kritik menjadi ciri umum pada zaman modern.

Walaupun begitu, tidak semua hal-hal yang berbau gereja dihilangkan. Misalnya, pandangan sejarah yang linear (menuju suatu pemenuhan masa kelak) di mana kejadian akhir (eschaton) dari sejarah adalah: keselamatan di masa yang akan datang, walaupun dalam tataran yang lebih masuk akal. Misalnya, pandangan Marx yang menyatakan bahwa akhir dari sejarah adalah ketika tidak adanya kelas dalam masyarakat, terutama kelas yang antagonisme sosial.

Bossuet (1637 – 1704)

Tesis dari pandangan Bossuet mengenai sejarah adalah bahwa perjalanan sejarah manusia dituntut oleh “Penyelenggaraan Ilahi” (providensi). Providensi ialah kegiatan Allah dalam mengarahkan ciptaan pada tujuan yang ditentukan, dijanjikan. Istilah ini mengacu pada rencana kekal Allah, di mana rencana ini mengantarkan ciptaan, umum maupun khusus, pada tujuannya yang tertinggi yaitu memuliakan Allah. Dalam rencana ini, baik tujuan akhir maupun cara-cara mencapainya telah ditentukan sebelumnya.

Voltaire (1694 – 1778)

Dalam pandangan filsafat sejarah Voltaire menolak asas, metode, isi, dan visi yang berbau tradisional. Kepercayaan mengenai providensi mulai digantikan dengan kemajuan (akal), pertentangan antara kejahatan dengan kebaikan digantikan dengan pertentangan antara mengerti dan tidak mengerti. Sejarah suci dipisahkan dari sejarah profan, dan injil sebagai sumber sejarah tidak lagi melebihi sumber sejarah sejarah profan yang lain.

Voltaire menafsirkan fakta kebudayaan dengan norma akal manusia. Baginya, peradaban berarti perkembangan progresif ilmu pengetahuan, kesenian, moral, perdagangan dan industri. Rintangan terbesar dari kemajuan adalah religi-religi yang dogmatis dan peperangan.

Tujuan sejarah baginya tidak ditentukan oleh Allah melainkan akal manusia itu sendiri, yaitu untuk memperbaiki kehidupan manusia dengan cara mengurangi kebodohan.

Condorcet (1743 – 1794)

Ia adalah seorang penganut teori Kemajuan. Ia percaya bahwa pada akhirnya manusia akan sempurna. Tujuan yang sebenarnya dari kemajuan, menurutnya, adalah penyempurnaan pengetahuan dan kebahagiaan, “Akan tibalah waktu, di mana terdapat bangsa-bangsa bebas, yang tak mempunyai seorang tuan kecuali akal”.

Dalam pandangan sejarah Condorcet, sekularisasi sangat menonjol. Peramalan diganti dengan perhitungan rasional. Prasangka, takhayul, dan otoritas agama digantikan dengan ilmu pengetahuan dan perhitungan. Ciri kemajuan bagi Condorcet adalah, ketika manusia, dengan ilmu pengetahuan, dapat hidup lebih sehat, sehingga dapat menunda kematian, dan moral yang semakin baik dengan adanya pewarisan yang menumpuk. “Oleh karena itu, setiap bangsa juga bangsa Timur, akan sampai pada tingkat peradaban”.

Turgot (1727 – 1781)


Berbeda dari dua filsuf penganut kemajuan di awal, Voltaire dan Condorcet, Turgot tetap mempertahankan sumbangan-sumbangan gereja terhadap kehidupan menusia. Menurutnya, jalan sejarah memang menuju pada suaru kemajuan walaupun terputus-putus karena adanya masa-masa keruntuhan.

Sumbangan gereja, menurut Turgot adalah mengenai bahwa keserakahan nafsu manusia dapat dikendalikan, hukum-hukum negara diperbaiki, dan pemerintahan dapat dibawa ke tingkatan yang lebih tinggi. Meskipun Turgot mengakui sumbangan dari gereja, tapi tetap ia mengatakan bahwa dasar dari peradaban adalah akal.

St. Simon (1760 – 1825)

St. Simon menganggap bahwa hukum-hukum alam dapat diterapkan pada bidang sosial dan moral. Kemajuan masyarakat, sebagaimana berkembangnya individu pun mengacu pada hukum-hukum umum. Sebagai contoh ia menyebutkan, bahwa masa Mesir merupaka masa kanak-kanak, ditandai dengan kesukaan bangsa mesir pada bangunan dan kuburan; masa Yunani sebagai masa remaja atau peralihan (puberteit) ditandai dengan kecintaannya pada musik dan puisi; masa Romawi merupakan masa tuam ditandai dengan ambisi-ambisi militernya; sedangkan masa Sarasen (de tijd der Saracenen) sebagai masa tua dengan kekuatan intelektual yang berkembang sepenuhnya.

St. Simon membedakan antara periode organisasi atau konstruksi dengan masa kritis atau periode revolusi. Sebagai contoh adalah, masa Karel Agung yang merupakan periode organisasi yang kemudian disusul oleh masa kritis dengan munculnya Luther. Kelak, menurutnya, akan muncul tiga kelas masyarakat yaitu: buruh industri, kaum terpelajar, dan seniman.

Comte (1798 – 1857)

Sama seperti St. Simon, Comte pun berpendapat bahwa perubahan sosial mengikuti hukum-hukum fundamental. Pemikiran ini membawanya pada kesimpulan mengenai pembagian kebudayaan dalam tiga fase: 1) fase teologis, 2) fase metafisis, dan 3) fase positif.

Bagi Comte, sejarah merupakan gerak kemajuan dari keadaan primitif menuju ke tingkatan yang lebih tinggi dan lebih baik. Kemajuan ini lebih dapat diamati dalam bidang intelektual ketimbang moral.

Dengan Comte, maka sejarah tidak lagi berupa pembeberan sementara kebenaran mutlak dan pemenuhan tujuan providensial yang kekal, melainkan berupa sejarah sekuler peradaban, yang kebenarannya relatif karena terikat pada keadaan dan kondisi yang berubah-ubah.

Hegel (1770 – 1831)

Pandangan sejarahnya bertolak dari tesis bahwa akal adalah asas dunia. Manusia berpikir dan berusaha mencapai tujuannya, namun secara tidak sadar dan tidak dikehendaki, mereka memenuhi suatu tujuan umum yaitu Perwujudan Ide. Tujuan terakhir melewati rencana-rencana manusia, maka dari itu, pengamatan (waarneming) atas bentuk konkret kenyataan menjadi berlawanan dengan semua yang masuk akal. Untuk memahami kenyataan dan proses historis kita harus menggunakan metode dialektis, realisasi diri dari Ide terjadi menurut tiga skema, yaitu: tesis, anti-tesis, sintesis.

Sejarah, menurut Hegel, adalah perwujudan (gestaltewording) Ide di dalam waktu, dengan mana Ide sampai pada dirinya sendiri. Realisasi diri dari Roh di dalam waktu ini adalah pernyataan yang semakin maju dari pikiran bebas.

Marx (1818 – 1883)

Marx, dalam historis-materialismenya bertolak dari kemasyarakatan yang historis: dunia rohani muncul dari itu. Menurutnya, masyarakat dikuasai oleh hubungan-hubungan segi ekonomis, dan hubungan-hubungan ini juga merupakan basis dtruktur politik, sosial maupun keagamaan dari masyarakat, bahkan dari seluruh kehidupan kultural.

Menurutnya, kaum borjuis sekarang, seperti juga yang sebelumnya, mengandung antagonisme sosial, yang disebabkan oleh cara-cara produksi kapitalis, yang lebih mementingkan keuntungan yang didapat ketimbang efek negatif sosial. Proletariat, kaum terpilih historis-materialisme, adalah satu-satunya kekuatan revolusioner yang mempunyai potensi untuk menumbangkan masyarakat kapitalistis dan untuk membangun masyarakat komunis yang dicita-citakan.

Dalam sejarah Marx, tujuan akhir dari sejarah adalah terbentuknya masyarakat tanpa kelas, terciptanya “Kerajaan Tuhan” namun tanpa Tuhan.

No comments:

Post a Comment