Tetapi, eudomonisme ini memiliki sisi egoistik yang kemudian menurut Kant akan mencederai moralitas. Oleh karena itu, Kant membuang keinginan untuk kebahagiaan sebagai alasan manusia melakukan tindakan baik. Menurutnya, tindakan baik adalah baik jika dilakukan tanpa keinginan lain kecuali menjalankan kewajiban.
Schopenhauer dan Nietzsche mengambil kesimpulan yang lebih ekstrem. Schopenhauer mengatakan demi mencapai moralitas tertinggi, manusia harus membuang segala kehendak hidup. Sedangkan Nietzsche berlawanan, ia mengatakan, moralitas harus dibuang demi mencapai kehidupan yang sebenar-benarnya.
Eudomonisme tidak lagi dibahas sebagai sebuah gagasan utama etika setelah Kant. Perbincangan mengenai etika terjebak pada metode semata. Meski pun begitu, bukan berarti etika deontologi Kant tidak memiliki kelemahan. Kelemahan deontologi adalah, manusia dianggap tidak memiliki motivasi dalam melakukan sesuatu yang wajib. Jika pun ada, itu mengurangi nilai kebaikan dari sebuah tindakan etis.
Spaemann berusaha mensintesiskan pemikiran eudomonisme dengan deontologi (kewajiban). Pemikiran para filsuf eudomonisme Yunani kuno bukannya lemah sama sekali, tapi memiliki pemikiran-pemikiran yang sebenarnya bisa dijadikan pondasi eudomonisme yang tidak egoistik. Seperti persahabatan dalam etika nikomakean Aristoteles. Perderitaan sahabat adalah penderitaanku, kebahagiaan sahabat adalah kebahagiaanku. Pemikiran stoa yang menyeluruh mengenai eudomonisme juga memiliki keunggulan. Stoa berpendapat bahwa eudomonisme yang berarti kenikmatan sesaat bukanlah kebahagiaan.
Spaemann berpendapat bahwa ada fenomena dalam kehidupan manusia di mana kebahagiaan dan kewajiban melebur. Fenomena itu adalah cinta dan persahabatan. Mencintai seseorang memuat pengakuan terhadap realitasnya. Karena itu, tindakan baik hati “harus” dilakukan. Keharusan di sini tidak dapat dipisahkan dari realitas sahabat. Ketika mencintai, kita juga merasakan kebahagiaan kita terhadap kebahagiaan yang dicintai. Fenomena ini membuktikan saat di mana kewajiban tidak memaksa dan kebahagiaan yang tidak egoistik.
Schopenhauer dan Nietzsche mengambil kesimpulan yang lebih ekstrem. Schopenhauer mengatakan demi mencapai moralitas tertinggi, manusia harus membuang segala kehendak hidup. Sedangkan Nietzsche berlawanan, ia mengatakan, moralitas harus dibuang demi mencapai kehidupan yang sebenar-benarnya.
Eudomonisme tidak lagi dibahas sebagai sebuah gagasan utama etika setelah Kant. Perbincangan mengenai etika terjebak pada metode semata. Meski pun begitu, bukan berarti etika deontologi Kant tidak memiliki kelemahan. Kelemahan deontologi adalah, manusia dianggap tidak memiliki motivasi dalam melakukan sesuatu yang wajib. Jika pun ada, itu mengurangi nilai kebaikan dari sebuah tindakan etis.
Spaemann berusaha mensintesiskan pemikiran eudomonisme dengan deontologi (kewajiban). Pemikiran para filsuf eudomonisme Yunani kuno bukannya lemah sama sekali, tapi memiliki pemikiran-pemikiran yang sebenarnya bisa dijadikan pondasi eudomonisme yang tidak egoistik. Seperti persahabatan dalam etika nikomakean Aristoteles. Perderitaan sahabat adalah penderitaanku, kebahagiaan sahabat adalah kebahagiaanku. Pemikiran stoa yang menyeluruh mengenai eudomonisme juga memiliki keunggulan. Stoa berpendapat bahwa eudomonisme yang berarti kenikmatan sesaat bukanlah kebahagiaan.
Spaemann berpendapat bahwa ada fenomena dalam kehidupan manusia di mana kebahagiaan dan kewajiban melebur. Fenomena itu adalah cinta dan persahabatan. Mencintai seseorang memuat pengakuan terhadap realitasnya. Karena itu, tindakan baik hati “harus” dilakukan. Keharusan di sini tidak dapat dipisahkan dari realitas sahabat. Ketika mencintai, kita juga merasakan kebahagiaan kita terhadap kebahagiaan yang dicintai. Fenomena ini membuktikan saat di mana kewajiban tidak memaksa dan kebahagiaan yang tidak egoistik.